BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Dakwah Persuasif
Dakwah
merupakan bahasa Arab, berasal dari kata da’wah yang bersumber pada kata
(da’a, yad’u, da’watan) yang bermakna seruan, panggilan, undangan atau
do’a. Selain itu dakwah memiliki pengertian upaya memanggil, menyeru, dan
mengajak manusia menuju Allah SWT.[1]
Perluasan berikutnya dari pemaknaan dakwah adalah aktivitas yang berorientasi
pada pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk peningkatan
kesejahteraan sosial.[2]
Usaha
untuk mempengaruhi pendapat, pandangan, sikap ataupun tingkah laku seseorang
dapat ditempuh dengan cara:
Koersif, yaitu dengan cara paksaan bahkan
disertai dengan terror yang dapat menekan batin. Contohnya yaitu adanya
penolakan ketidaksetujuan FPI yang kerapkali kita tahu beritanya di media-media
dengan cara mereka yang memberontak bahkan anarkis.
Persuasif, yaitu tanpa adanya paksaan dengan
mempengaruhi jiwa seseorang sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk
menerima dan menerima suatu tindakan.[3]
Persuasif berasal dari istilah bahasa Inggris persuation. Persuation dapat
diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya. Baik koersif
ataupun persuasif keduanya bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan, dan sikap.
Bedanya ialah terletak pada cara penyampaiannya.[4]
Contohnya yaitu dakwah yang disampaikan oleh Ust. Maulana yang dapat menggugah
pikiran mad’u.
Sehingga
dapat dikatakan Dakwah Persuasif
adalah proses kegiatan yang mempengaruhi jiwa seseorang (mad’u) sehingga timbul
kesadarannya sendiri untuk mengikuti ajakan pendakwah (da’i) dengan cara halus
atau tanpa paksaan.
Tanpa kita
sadari dakwah berada di kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu dalam
situasi dan kondisi yang tengah ada dalam masyarakat hendaknya dapat menerapkan
metode dakwah manakah yang paling pas untuk digunakan. Dakwah persuasif harus
dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki pengetahuan dan keahlian.
Dakwah harus tetap dilakukan sekalipun dihadapkan dengan orang yang
kemungkinannya sangat kecil untuk berubah.
B.
Unsur-Unsur Dakwah
Kondisi
psikologis mad'u yang berbeda-beda menyebabkan tingkat pendekatan persuasif
dalam berdakwah juga berbeda-beda. Namun untuk mencapai dakwah yang persuasif
jelas ada unsur yang mendukungnya. Unsur-unsur yang menyebabkan suatu dakwah
itu persuasif atau tidak ialah:[5]
1.
Pribadi Da’i
Sosok Da’i
yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering jika digali dari
pribadi Rasulullah sendiri. Ketinggian pribadi Rasul dapat dilihat pada
pernyataan Al-Qur’an. Pengakuan Rasul sendiri dan kesaksian para sahabat yang
mendampinginya.
كَثِيرًا اللَّهَ وَذَكَرَ الْآخِرَ وَالْيَوْمَ اللَّهَ يَرْجُو
كَانَ لِمَنْ حَسَنَةٌ أُسْوَةٌ اللَّهِ رَسُولِ
فِي لَكُمْ كَانَ لَقَدْ
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan dia banyak
menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab/33:21)
Di mata
sahabatnya, Rasul SAW adalah guru, teman, orangtua, dan pemimpin, satu gabungan
peran yang sangat ideal bagi seorang Da’i. sehingga Beliau layak disebut
sebagai Da’i agung.
Sesuai
dengan teori Gestalt, seseorang itu dipersepsi sebagai suatu keseluruhan. Oleh
karena itu, jika kepribadian seorang Da’i sudah dipandang tinggi oleh
masyarakat mad’u, maka pesan dakwahnya juga dianggap sebagai bagian dari
struktur kepribadiannya. Untuk membuat suatu dakwah itu persuasive,
pertama-tama seorang Da’i harus memiliki kriteria-kriteria yang dipandang
posistif oleh masyarakat. Kriteria-kriteria itu antara lain :
a. Memiliki Kualifikasi Akademis Tentang
Islam
Dalam hal
ini seorang Da’i sekurang-kurangnya memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan
Al-Hadis, bahwa Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup, nasihat bagi
yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran yang oleh karena itu, selalu menjadi
rujukan dalam menghadapi segala macam persoalan. Cirri seorang Da’i yang
berilmu antara lain, ia tidak berani mengatakan apa yang tidak dikuasainya
dengan menggunakan term-term yang digunakan oleh ahlinya.
b. Memiliki Konsistensi antar Amal dan
Ilmunya
Seorang
Da’i sekurang-kurangnya harus mengamalkan apa yang ia serukan kepada orang
lain. Perbuatan seorang Da’i tidak boleh melecehkan kata-katanya sendiri, apa
yang ia demonstrasikan kepada masyarakat haruslah apa yang memang menjadi
keyakinan batinnya, sebab inkonsistensi antara kedua hal tersebut akan membuat
seruan dakwahnya tidak berbobot dan tidak berwibawa di depan masyarakat.
c. Santun dan Lapang Dada
Sifat
santun dan lapang dada yang memiliki seseorang merupakan indicator dari
ketulusan ilmunya dan secara khusus kemampuannya mengendalikan akalnya
(ilmunya) dalam praktek kehidupan. Cirri orang santun adalah lembut tutur
katanya, tenang jiwanya, tidak gampang marah dan tidak suka omong kosong.
Secara psikologis, kepribadian santun dan lapang dada seorang Da’i akan membuat
orang mad’u terikat perasaannya, lebih daripada pemahaman melalui pikirannya
sehingga masyarakat mad’u cenderung ingin selalu mendekatinya
d. Bersifat Pemberani
Daya tarik
kepemimpinan seseorang antara lain terletak pada keberaniannya. Keberanian yang
diperlukan oleh seorang Da’i sudah tentu berbeda dengan keberanian kelompok
oposisi yang lebih menekankan asal berbeda, atau keberanian yang asal berani,
tetapi keberanian yang konstruktif, yang sejalan dengan konsep dasar dakwah,
yaitu keberanian mengemukakan kebenaran. Dalam hal keberanian berargumen,
berdialog dan berdebat, seorang Da’i dituntut untuk tetap konsisten
dengan tujuan dakwah bukan asal menang. Oleh karena itu, seorang Da’i tidak
dibenarkan mencacimaki agama atau keyakinan orang lain.
e. Tidak Mengharapkan Pemberian Dari
Orang
Iffah
artinya hatinya bersih dari pengharapan terhadap apa yang ada pada orang lain.
Seorang Da’i yang tak terlintas sedikitpun di dalam hatinya keinginan terhadap
harta orang lain, maka ia dapat merasa sejajar atau bahkan lebih tinggi atau
sekurang-kurangnya memiliki kemerdekaan di dalam dirinya.
f. Qana’ah Atau Kaya Hati
Seorang
Da’i boleh miskin harta, tetapi tidak boleh miskin hati, karena kaya hati
(qana’ah) itu lebih tinggi nilainya disbanding kekayaan harta. Dalam perspektif
psikologi, orang yang memiliki harta melimpah tetapi masih merasa banyak
kekurangan dan tidak sempat berpikir untuk memberikan pada orang lain, maka ia
adalah orang miskin. Sebaliknya orang yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan
yang berarti tetapi ia merasa berkecukupan, merasa bersyukur dan bahkan sanggup
memberikan sebagian besar milikinya untuk orang lain yang lebih membutuhkan,
maka ia adalah orang kaya.
g. Kemampuan Berkomunikasi
Dakwah
adalah mengkomunikasikan pesan kepada mad’u. komunikasi dapat dilakukan dengan
lisan, tulisan atau perbuatan, dengan bahasa kata-kata atau bahasa perbuatan.
Komunikasi dapat berhasil manakala pesan dakwah itu dipahami oleh mad’u. kaum
intelektual lebih mudah memahami bahasa ilmiah sedangkan orang awam lebih mudah
memahami bahasa awam. Jadi, seorang Da’i dituntut dapat menggunakan metode yang
tepat dalam mengkomunikasikan pesan dakwahnya.
h. Memiliki Rasa Percaya Diri dan
Rendah Hati
Seorang
Da’i harus memiliki rasa percaya diri, yakni bahwa selama dakwahnya dilandasi
oleh keikhlasan dan dijalankan dengan memakai perhitungan yang benar dan
mengharap ridha Allah, insyaAllah akan membawa manfaat. Dalam perspektif islam,
rendah hati justru akan mendatangkan kehormatan, sementara kesombongan justru
akan mengantar pada kehinaan.
i.
Tidak
Kikir Ilmu
Pada
dasarnya seorang Da’i dapat diibaratkan sebagai danau menampung air
hujan, menyimpannya dan menyediakan diri bagi orang yang membutuhkan. Dalam puncak
kerjanya, seorang Da’i dapat diibaratkan sebagai ember yang membawa air dari
danau untuk disiramkan ke pohon-pohon yang kekeringan. Jadi, ilmu yang
dipelajari oleh seorang Da’i adalah diperuntukkan bagi kepentingan mad’u. oleh
karena itu, ia tidak pernah kikir terhadap ilmunya.
j.
Anggun
Salah satu
ciri keanggunan seseorang ialah kepribadiannya tetap tersembunyi meskipun
namanya sudah banyak dikenal. Rahasia keanggunan justru terletak pada
kemampuannya menyembunyikan sisi-sisi pribadinya dari pengetahuan orang banyak.
k. Selera Tinggi
Artinya ia
tidak merasa puas dengan hasil kerja yang tidak sempurna.
l.
Sabar
Seorang
Da’i dituntut untuk mampu bersabar dalam menghadapi rintangan-rintangan itu.
Urgensi sabar berkaitan erat, dengan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, Da’i
yang selalu ingat akan tujuan utama dakwahnya, ia akan mampu bersabar dan
tabah.
m. Memiliki Nilai Lebih
Manusia
cenderung tertarik kepada orang yang memiliki kelebihan dalam bidang apapun.
Seorang Da’i yang juga berperan sebagai pemimpin haruslah memiliki nilai lebih
atau nilai plus dibanding orang lain yang dipimpin. Oleh karena itu, agar
dakwahnya menarik dan mempunyai daya panggil, seorang Da’i yang tidak memiliki
nilai plus, apalagi jika dibawah rata-rata maka meskipun kata-kata dakwahnya
indah didengar, tetapi tidak atau kurang mempunyai daya panggil, tidak
menyentuh hati nurani tak menggores jiwa mad’u.
Kriteria
diatas merupakan salah satu pendukung terciptanya dakwah persuasif, tetapi
tidak menutup kemungkinan jika ada beberapa criteria yang mungkin tidak
terdapat dalam diri seorang Da’i selama dakwah yang diberikan dapat
mempengaruhi jiwa mad’u atas keinginan diri mad’u itu sendiri maka dapat
dikatakan bahwa dakwah tersebut adalah dakwah persuasif. Jadi, kriteria seorang
Da’i hanya sebagai standart dalam keilmuan tetapi kenyataannya seorang Da’i
juga memiliki kekurangan sehingga tolak ukur dakwah persuasive adalah
penyampaian dakwah Da’i yang dapat diterima dan dipahami oleh mad’u
dengan tujuan yang diinginkan (mempengaruhi) mad’unya.[6]
2.
Materi Dakwah Persuasif
Secara
psikologis, bahasa mempunyai peran yang sangat besar dalam mengendalikan
perilaku manusia. Bahasa ibarat remot control yang dapat menyetel manusia
menjadi tertawa, marah, sedih, lunglai, semangat, dan sebagainya. Bahasa juga
dapat digunakan untuk memasukkan gagasan-gagasan baru kedalam pikiran manusia.
Sebagai
pesan, bahasa juga ada psikologinya, misalnya cara berkata seseorang, isyarat
tertentu, struktur bahasa yang digunakan dan sebagainya, dapat memberikan
maksud tertentu kepada lawan bicara. Jadi, dengan memperhatikan psikologi
pesan, bahasa dapat digunakan oleh da’i untuk mengatur, menggerakkan dan
mengendalikan perilaku masyarakat.
Al-Qur’an
memeberikan istilah-istilah pesan yang persuasive dengan kalimat “qaulan layyina, qaulan ma’rifah, qaulan
baligha, qaulan syadida, qaulan karima, qaulan maisura, qaulan tsaqilan, dan
qaulan ‘adzima.”
1. Qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut).
Menurut Asfihani dalam Mu’jam-nya, qaulan layyina mengandung arti lawan dari kasar, yakni
halus dan lembut. Pada dasarnya halus dan lembut itu dipergunakan untuk
mensifati benda oleh indera peraba, tetapi kata-kata ini kemudian dipinjam
untuk menyebut sifat-sifat akhlak dan arti-arti yang lain. Jadi dakwah yang
lemah lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan yang
halus tanpa mengusik atau menyentuh kepekaan perasaannya sehingga tidak
menimbulkan gangguan pikiran dan perasaan.
2. Qaulan Baligha (perkataan
yang membekas pada jiwa)
Menurut Ishfihani dalam Mu’jam-nya,
perkataan yang
baligh (membekas atau tajam) mempunyai dua arti:
a. Suatu perkataan
dianggap baligh manakala berkumpul pada tiga sifat, yaitu memiliki kebenaran
dari sudut bahasa, mempunyai kesesuaian dengan apa yang dimaksudkan dan
mengandung kebenaran secara subtansial.
b. Suatu perkataan
dinilai baligh jika perkataan itu membuat lawan bicaranya terpaksa mempersepsi
perkataan itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara, sehingga tidak
ada celah untuk mengalihkan perhatian kepermasalahan lain.
3. Qaulan Syadida (perkataan
yang benar).
Term
qaulan syadida, menurut ibn Manshur dalam lisan al-a’rabnya kata sadid diyang
dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti mengenai sasaran (yusib
al-qashda). Jadi pesan dakwah yang secara psikologis menyentuh hati mad’u siapa pun mad’unya, adalah jika materi yang
disampaikan itu benar, baik darin segi bahasa atau pun logika, dan disampaikan
dengan pijakan takwa.
4. Qaulan Karima (perkataan
yang mulia)
Dalam perspektif dakwah, qaulan
karima diperlukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah
masuk kategori usia lanjut. Psikologi orang usia lanjut biasanya sangat peka terhadap
kata-kata yang bersifat menggurui, menyalahkan apalagi yang kasar, karena meeka
merasa lebih banyak pengalaman hidupnya, dan merasa dalam kondisi telah banyak
kehilangan kekuatan fisiknya. Oleh karena itu, untuk menjadikan pesan dakwah
kepada orang tua itu persuasif, haruslah disampaikan dengan perkataan yang
mulia.
5. Qaulan maisura (perkataan
yang ringan)
Kalimat Maisura berasal dari kata yasr, yang artinya
mudah. Qaulan Maisura adalah perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang
pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura artinya pesan
yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat difahami secara
spontan tanpa harus berfikir dua kali.[7]
3.
Kondisi Psokologis Mad’u
Sehubungan dengan kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat, bila dilihat dari aspek kehidupan psikologis, maka
dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah, berbagai permasalahan yang
menyangkut sasaran bimbingan atau dakwah mendapatkan konsiderasi yang tepat
yaitu meliputi hal-hal sbb:
1. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi sosiologis.
2. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan.
3. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi social cultural.
4. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi tingkat usia.
5. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi profesi atau pekerjaan.
6. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial-ekonomis.
7. Sasaran yang menyangkut kelompok
masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin.
Bila dilihat dari kehidupan
psikologis masing-masing golongan masyarakat tersebut diatas, memiliki crri-ciri
khusus, yang menuntut kepada system dan metode dakwah yang didasari dengan
prinsip-prinsip psikologi yang berbeda-beda, yang merupakan suatu keharusan
jika kita menghendaki efektifitas dan efisiensi dalam program kegiatan dakwah
dikalangan mereka.[8]
C.
Kelebihan
dan Hambatan Dakwah Persuasif
1.
Kelebihan
Dakwah Persuasif
a. Relevan
b. Pribadi
Da’i
c. Kondisi
psikologi mad’u
d. Kemasan
menarik
2.
Hambatan
Dakwah Persuasif
a. Noise
factor
b. Semantic
factor meliputi penggunaan kata-kata dan istilah
c. Kepentingan
d. Motivasi
yang berbeda antara komunikator dengan komunikan
e. Prasangka[9]
D.
Langkah-langkah
Dakwah Persuasif
Langkah-langkah dakwah dengan menggunakan komunikasi
persuasif :
Sebagaimana
telah dijelaskan tentang dakwah yaitu suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat
menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam.
Sedangkan tujuan dakwah ialah untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan yang
lebih baik, lebih Islami, lebih sejahtera lahiriah maupun batiniah, tujuan
dakwah tersebut sesuai dengan tujuan komunikasi persuasif yaitu merubah situasi
tersebut yakni merubah kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang dengan
menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti
atas kehendaknya sendiri.
Dakwah
persuasif sendiri ialah kegiatan berdakwah dengan menggunakan metode
komunikasi persuasif yang bertujuan mengubah, memodifikasi atau membentuk respon
(sikap atau perilaku) dari penerima atau mad’u. Dan tujuan itu akan berhasil
manakala seorang Da’i mampu menyampaikan dakwahnya dengan pendekatan
psikologis.[10]
Dalam surat Ali imran ayat 159 menjelaskan bahwa ada
tujuh langkah dakwah persuasif:
“Maka
berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal.” (Q.S. Ali Imran/3: 159).
Dari ayat
tersebut dijelaskan ada tujuh langkah dakwah persuasif yaitu:
1. Mendasarkan kegiatan dakwah atas
dasar menebar kasih sayang Allah.
2.
Senantiasa
bersikap lemah lembut dalam menghadapi umat.
3.
Bersikap
lapang dada sehingga mudah memaafkan kesalahan umat.
4.
Membangun
komunikasi personal dengan Allah dengan senantiasa memohon agar Allah
mengampuni dosa dan kesalahan umat.
5.
Bermusyawarah
dengan umat dalam merencanakan suatu program aksi.
6.
Mengambil
keputusan yang tepat dan mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan tekad
untuk mewujudkannya.
7.
Bertawakal
kepada Allah, jika suatu perencanaan sudah dilakukan dengan cermat dan
diputuskan dengan hati yang mantap.[11]
1.
Teknik “red herring”
Teknik komunikasi persuasif “red herring” berasal
dari nama jenis ikan yang hidup di samudera Atlantik Utara. Jenis ikan ini
terkenal dengan kebiasaannya dalam membuat gerak tipu ketika diburu oleh
binatang lain atau oleh manusia. Dalam hubungannya dengan komunikasi persuasif,
teknik “red herring” adalah seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan
dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian
mengalihkannya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan
senjata ampuh untuk menyerang lawan. Jadi teknik ini digunakan pada saat
komunikator berada dalam posisi terdesak.[12]
2. Teknik
“pay off idea”
Suatu
usaha untuk mempengaruhi orang lain dengan memberikan harapan yang baik atau
mengiming-imingi hal-hal yang baik saja, bahwa pada hari akhir nanti akan ada
pembalasan, sesuai dengan ayat yang ada dalam Al-qur’an bahwa bagi orang yang
melakukan amal baik selama di dunia maka ia akan meraih kebahagiaan di akhirat
nanti dengan diamsukkan ke dalam surga Allah dan kekal di dalamnya. Allah SWT
akan ridha kepada orang-orang yang melakukan amal baik.
3.
Teknik “fear arousing”
Usaha
menakut-nakuti orang lain atau menggambarkan konsekuensi buruknya, sesuai
dengan ajaran islam yang terkandung dalam Al-qur’an dan hadist bahwa bagi orang
yang durhaka kepada Allah dan orang-orang kafir konsekuensinya yaitu akan
mendapat siksaan di akhirat nanti.[13]
Teknik
komunikasi “fear arousing” adalah usaha menakut-nakuti orang lain atau
menggambarkan konsekuensi buruknya ( Carld I Hovland, Irving L. Janis,
Harold H. Kelly 1963 : 57 ). Dalam konteks ajaran agama Islam teknik ini
secara eksplisit dan inlpisit terkandung di dalam Al-Quran dan Hadits. Hal
tersebut diindikasikan dengan banyaknya ayat yang menggambarkan konsekuensi
berupa siksaan di akhirat nanti bagi orang kafir dan orang yang durhaka kepada
Allah SWT.
Dalam
bidang hukum Islam dikenal dengan “hudud” atau ketentuan hukuman bagi
orang-orang yang melanggar aturan Allah SWT; seperti membunuh orang tanpa
alasan syar’i, berzina, minum minuman keras, mencuri dalam kadar tertentu dan
dosa-dosa besar lainnya. Seperti terdapat dalam Al-Maidah ayat 38:
السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
جزاءا بما كسبا نكالا من الله و الله عزيز حكيم
Terjemahan:
Laki-laki
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa
yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana.
Ayat di
atas menggambarkan ancaman bagi seorang yang mencuri dalam jumlah tertentu,
kemudian diproses dan disahkan secara hukum, maka hukumannya adalah dipotong
tangannya supaya menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan rasa
takut bagi orang yang hendak melakukan perbuatan serupa. Ketentuan ini tersurat
secara jelas di dalam kitab suci Al-Quran, akan tetapi di Indonesia aturan
Allah tersebut belum/tidak dapat dilakasanakan karena sistem hukum yang dianut
bukanlah hukum Islam. Jadi hanya di negara-negara yang menerapkan hukum Islam
yang dapat mengaplikasikan perintah Allah tersebut. Walaupun ketentuan tersebut
tidak diaplikasikan di Indonesia akan tetapi secara idealis keentuan Allah
tersebut cukup menjadi dasar bagi umat Islam bahwa pencurian dalam jumlah
tertentu diancam dengan hukuman potong tangan sehingga akan menimbulkan rasa
takut untuk melakukannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dakwah Persuasif
adalah proses kegiatan yang mempengaruhi jiwa seseorang (mad’u) sehingga timbul
kesadarannya sendiri untuk mengikuti ajakan pendakwah (da’i) dengan cara halus
atau tanpa paksaan.
Usaha
untuk mempengaruhi pendapat, pandangan, sikap ataupun tingkah laku seseorang
dapat ditempuh dengan cara:
a.
Koersif, yaitu dengan cara paksaan bahkan
disertai dengan terror yang dapat menekan batin. Contohnya yaitu adanya
penolakan ketidaksetujuan FPI yang kerapkali kita tahu beritanya di media-media
dengan cara mereka yang memberontak bahkan anarkis.
b.
Persuasif, yaitu tanpa adanya paksaan dengan
mempengaruhi jiwa seseorang sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk
menerima suatu tindakan.
Persuasif
dapat diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya. Baik
koersif ataupun persuasif keduanya bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan,
dan sikap. Bedanya ialah terletak pada cara penyampaiannya.
Dakwah
persuasif sendiri ialah kegiatan berdakwah dengan menggunakan metode
komunikasi persuasif yang bertujuan mengubah, memodifikasi atau membentuk
respon (sikap atau perilaku) dari penerima atau mad’u. dan tujuan itu akan
berhasil manakala seorang da’i mampu menyampaikan dakwahnya dengan pendekatan
psikologis.
Unsur-unsur
yang menyebabkan dakwah itu persuasif ialah: Pesona Da’i, Materi Dakwah, dan
Kondisi Psikologis Mad’u.
Al-Qur’an
memberikan istilah-istilah pesan yang persuasif atau materi dakwah persuasif dengan
kalimat “qaulan layyina,
qaulan ma’rifah, qaulan baligha, qaulan sadida, qaulan karima, qaulan maisura,
qaulan tsaqilan, dan qaulan “adzima.”
Hambatan Dakwah Persuasif yaitu: Noise factor, Semantic factor
meliputi penggunaan kata-kata dan istilah, Kepentingan, Motivasi yang
berbeda antara komunikator dengan komunikan dan Prasangka.
Langkah-langkah
dakwah persuasif yaitu:
1. Mendasarkan kegiatan dakwah atas
dasar menebar kasih sayang Allah.
2. Senantiasa bersikap lemah lembut
dalam menghadapi umat.
3. Bersikap lapang dada sehingga mudah
memaafkan kesalahan umat.
4. Membangun komunikasi personal dengan
Allah dengan senantiasa memohon agar Allah mengampuni dosa dan kesalahan
umat.
5. Bermusyawarah dengan umat dalam
merencanakan suatu program aksi.
6. Mengambil keputusan yang tepat dan
mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan tekad untuk mewujudkannya.
[1]
Tata Sutayat, Quantum Dakwah, Rineka
Cipta, Jakarta, 2009, hal 1
[2]
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 3003, hal. 16
[3] Moh.
Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Kencana,
Jakarta, 2009, hal. 446
[4]
Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan
Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani Amzah, Jakarta, 2001, hal. 148
[5]
Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, hal. 162
[6] http://fara-cantika.blogspot.com/2012/11/dakwah-persuasif.html
[7] http://risnasari13.blogspot.com/2013/04/makalah-psikologi-dakwah-3.html
[8] http://humaniora.kompasiana.com/edukasi/2012/09/28/psikologi-dakwah-497168.html
[9]
http://4letha.blogspot.com/2008/11/komunikasi-persuasif.html
[10]
file:///F:/234-psikologi-komunikasi-dakwah.htm
[11]
file:///F:/komunikasi-persuasif-menurut-al-quran_09.html